Liputan6.com, Jakarta – Menjelang puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) pada 9 Dzulhijjah, perhatian berbagai negara pengirim jemaah tertuju pada kesiapan layanan kesehatan. Dengan jutaan jemaah haji berkumpul di satu lokasi dalam kondisi cuaca ekstrem, pelayanan medis menjadi tantangan tersendiri—terutama bagi negara dengan jumlah jemaah besar seperti Indonesia dan Malaysia.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun sinergi antarnegara. Seperti yang dilakukan tim petugas kesehatan haji Malaysia yang mengunjungi Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah pada 31 Mei lalu.
Dipimpin langsung oleh Pengarah Operasi Rombongan Haji Perubatan, dr. Shafiq Samsudin, kunjungan ini bertujuan untuk berbagi pengalaman dan berdiskusi mengenai strategi pelayanan kesehatan haji yang efektif di tengah regulasi ketat dari Pemerintah Arab Saudi.
“Dari 31.600 jemaah haji Malaysia, petugas kami sebelumnya hanya mendapat jatah kurang dari 316 orang. Padahal, idealnya rasio yang dibutuhkan adalah 1 petugas : 100 jemaah,” ungkap dr. Shafiq, dikutip dari laman Sehat Negeriku Kemenkes RI.
Ia menambahkan bahwa meski akhirnya Pemerintah Arab Saudi menambahkan kuota petugas, negosiasi tetap diperlukan agar tim medis tidak terdampak pengurangan.
Tantangan Terbesar
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi, menurut dr. Shafiq, adalah kebijakan Arab Saudi yang membatasi tim medis masing-masing negara untuk menangani jemaah secara langsung.
“Singapura, Malaysia, termasuk kami pun merasakan kesulitan menyesuaikan diri terhadap peraturan di sini, di mana penanganan jemaah sakit hanya boleh dirujuk dan dilakukan di RS Arab Saudi (RSAS),” jelasnya.
Malaysia Ingin Belajar dari Indonesia
Dalam konteks ini, Malaysia ingin belajar dari Indonesia yang telah lama berpengalaman menyelenggarakan layanan kesehatan haji melalui KKHI.lajar dari Indonesia yang telah lama berpengalaman menyelenggarakan layanan kesehatan haji melalui KKHI.
“Hasrat utama kami adalah bagaimana menghadapi situasi sekarang ini dan masa mendatang, di mana Pemerintah Arab Saudi mengambil alih tugas perawatan pasien jemaah di rumah sakit,” tambah dr. Shafiq.
Kunjungan ini disambut hangat oleh dr. Mohammad Imran, MKM, Kepala Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Ia menjelaskan bahwa pihak Indonesia pun terus beradaptasi dengan aturan yang ada melalui pendekatan promotif dan preventif.
“Dengan kebijakan Kementerian Kesehatan Arab Saudi, kami menugaskan para dokter dan perawat untuk melakukan visitasi ke hotel-hotel guna memantau kondisi kesehatan jemaah yang memiliki penyakit komorbid dan pasca perawatan di RSAS,” ujar dr. Imran.
Edukasi Kesehatan bagi Jemaah Haji
Selain kunjungan langsung ke pemondokan, edukasi kesehatan juga diberikan kepada jemaah agar mereka dapat menjaga diri secara mandiri. Sementara itu, layanan rujukan ke RSAS tetap menjadi langkah utama bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk ditangani di tingkat kloter.
“Sebenarnya, yang dilakukan Tim KKHI dapat meringankan beban RS Arab Saudi dalam menangani jemaah haji, karena tentunya mereka memiliki keterbatasan fasilitas seperti tempat tidur dan sumber daya manusia. Namun, pada akhirnya kita harus mengikuti aturan yang berlaku, dan TKHK harus merujuk jemaah sakit ke RSAS,” tutup dr. Imran.
Sinergi lintas negara seperti ini menjadi penting, bukan hanya untuk menjawab tantangan ibadah haji tahun ini, tapi juga sebagai pijakan membangun sistem pelayanan kesehatan haji yang lebih kolaboratif dan responsif di masa mendatang.