Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melaporkan sebanyak 53 jemaah haji meninggal dunia di Tanah Suci hingga 23 Mei 2025.
Data ini dirilis melalui Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Bidang Kesehatan (Siskohatkes) jelang hari ke-22 pelaksanaan ibadah haji.
Dari total tersebut, 19 orang wafat akibat serangan jantung, yang disebabkan oleh penyakit jantung iskemik akut dan shock cardiogenic.
Kondisi ini menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap risiko kesehatan, terutama bagi jemaah lanjut usia (lansia) dan mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbiditas).
Kemenkes mencatat serangan jantung sebagai penyebab kematian terbanyak di antara jemaah haji 2025.
Situasi ini dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari kondisi cuaca ekstrem di Arab Saudi, kelelahan, hingga kurangnya kontrol terhadap aktivitas fisik.
dr. Agus Sulistyawati, Sp.S, dari Tim Visitasi Kesehatan Haji, menyebut mayoritas jemaah yang wafat memiliki riwayat penyakit jantung dan komorbid, serta cenderung tidak membatasi aktivitasnya selama di Tanah Suci.
Kemenkes Tekankan Pentingnya Manajemen Diri
“Kami sangat prihatin dengan angka kematian yang terjadi. Belasan jemaah telah berpulang, dan sebagian besar disebabkan oleh penyakit jantung,” ujar dr. Agus saat ditemui di Sektor 7, Daerah Kerja Makkah, seperti dikutip dari Sehat Negeriku pada Rabu, 28 Mei 2025.
Dia menambahkan bahwa aktivitas fisik berlebihan seperti melakukan umrah berkali-kali, berjalan jauh, dan beribadah di bawah terik matahari, sangat berisiko memicu serangan jantung.
Menyikapi tingginya angka kematian, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes, Liliek Marhaendro Susilo, menegaskan pentingnya jemaah mengelola diri dengan baik, terutama menjelang puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) yang dimulai pada 4 Juni 2025.
“Para jemaah, terutama yang lansia atau memiliki penyakit penyerta seperti jantung, hipertensi, dan diabetes, harus mengurangi ibadah sunah yang membutuhkan tenaga ekstra,” ujar Liliek.
Dia mencontohkan beberapa aktivitas yang sebaiknya dibatasi seperti umrah berulang kali, tawaf sunah, jalan kaki jauh ke Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, dan wisata ziarah.
Jangan Paksakan Diri dan Utamakan Kesehatan
Liliek mengingatkan bahwa ibadah sunah memang bernilai pahala, namun keselamatan dan kesehatan jiwa lebih utama.
“Kami menganjurkan jemaah untuk tidak memaksakan diri. Hindari ibadah di siang hari saat cuaca terik. Gunakan alat pelindung diri seperti masker, payung, kacamata hitam, dan alas kaki,” ujarnya.
Selain itu, Kemenkes juga menyarankan agar jemaah menjaga hidrasi tubuh dengan minum air putih atau air zam-zam sedikit demi sedikit hingga 2 liter per hari, serta mengonsumsi oralit sekali sehari untuk mencegah dehidrasi.
Menuju Haji Mabrur dengan Kondisi Prima
Untuk mencegah kejadian serupa, Liliek menyampaikan sejumlah tips penting bagi jemaah yang memiliki penyakit penyerta:
- Minum obat secara teratur, sesuai resep dokter.
- Istirahat cukup dan hindari stres berlebihan.
- Periksa kesehatan minimal tiga kali seminggu ke petugas kesehatan kloter.
- Berpikir positif dan memperbanyak zikir untuk menjaga ketenangan jiwa.
- Lakukan ibadah sesuai kemampuan, jangan terpancing euforia atau kompetisi antarjemaah.
“Dan, yang paling penting, jemaah dengan komorbid dan lansia harus didampingi, bekerja sama dengan ketua regu dan jemaah yang sehat,” kata Liliek.
Kemenkes berharap imbauan ini dapat membantu menekan angka kematian jemaah haji di tahun 2025.
Kesadaran akan batas kemampuan fisik dan kedisiplinan dalam menjaga kesehatan menjadi kunci utama dalam meraih haji mabrur.
“Tujuan utama adalah meraih haji mabrur, dan itu hanya bisa dicapai jika jemaah berada dalam kondisi fisik yang prima,” pungkas Liliek.