Liputan6.com, Jakarta – Penggunaan media sosial memiliki kaitan erat dengan pola konsumsi makanan dan meningkatnya gangguan makan serta gejala depresi pada remaja Indonesia.
Hal ini diungkap peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kencana Sari. Dia mengungkap bahwa berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) dari WHO (2022), pada tahun 2019, satu dari delapan orang di dunia menderita gangguan kesehatan mental. Sekitar 14 juta kasus gangguan makan secara global, 20 persen di antaranya terjadi pada anak dan remaja.
“Kelompok usia remaja sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental, termasuk gangguan makan,” kata Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi (PRKMG) itu seperti mengutip laman BRIN, Selasa (27/5/2025).
“Meski kesadaran akan kesehatan mental meningkat, gangguan makan sering kali tidak terdeteksi atau kurang diteliti, padahal dampaknya serius mulai dari gizi kurang hingga obesitas,” tambahnya.
Menurut Kencana, faktor penyebab gangguan makan meliputi psikologis, sosiodemografi, dan lingkungan, tetapi mekanisme pasti (terutama untuk binge eating disorder) masih kompleks dan menjadi tantangan kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut, Kencana menjelaskan bahwa berdasarkan klasifikasi International Classification of Diseases 10th Revision (ICD-10) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), gangguan makan terdiri dari:
- Anorexia Nervosa Bulimia Nervosa
- Binge Eating Disorder
- Gangguan makan lainnya.
Minuman bersoda, permen, kue, pai, kukis, es krim, dan aneka makanan yang berpemanis bila dikonsumsi berlebihan akan mengganggu kesehatan tubuh kita. Untuk itu penting kita untuk lebih waspada. Pahami tanda-tanda tubuh sudah kelebihan asupan gula, se…
Jenis Gangguan Makan
Kencana menerangkan, Anorexia Nervosa adalah Pembatasan asupan makanan ekstrem, ketakutan berlebihan terhadap kenaikan berat badan.
Gejalanya adalah kepadatan tulang rendah, tekanan darah rendah, detak jantung tidak teratur, dan lemas.
Sementara itu, Bulimia Nervosa adalah perilaku yang berulang dan tidak tepat untuk menghindari penambahan berat badan.
“Biasanya memuntahkan makanannya kembali kemudian juga menghindarkan makanan agar tidak diproses oleh tubuh. Gejala-gejala yang timbul biasanya masalah lambung, kemudian pipi bengkak, menstruasi tidak teratur, lemah, dehidrasi, dan matanya merah,” tutur kencana.
Kemudian, gangguan makan berlebihan atau Binge Eating Disorder terjadi jika makan berlebihan dalam jangka waktu yang pendek dibandingkan kebanyakan orang, dalam jangka waktu dan kondisi yang sama. Frekuensi makan dalam jumlah berlebihan bergantung pada tingkat keparahan gangguan makanan yang diderita.
“Semakin sering makan berlebihan itu cukup berbahaya untuk jangka panjang bisa menyebabkan diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, sakit jantung, dan penyakit tidak menular lainnya,” tegas Kencana.
1 dari 3 Remaja Alami Gangguan Makan
Lebih lanjut Kencana menjelaskan bahwa tujuan dari studinya adalah menganalisis gangguan makan pada remaja serta mengetahui faktor determinan yang memengaruhi.
Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang terbukti berhubungan secara signifikan pada analisis bivariat adalah status gizi, citra tubuh (body image), jumlah akun media sosial, serta perilaku sebagai pengguna pasif media sosial.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku pengguna pasif media sosial dan jumlah akun media sosial merupakan faktor dominan yang berkontribusi terhadap gangguan makan pada remaja. Pengguna pasif media sosial memiliki odds ratio sekitar 1,8, artinya risikonya 1,8 kali lebih tinggi.
Simpulannya, sekitar 1 dari 3 remaja mengalami gangguan makan, dengan faktor risiko utama adalah banyaknya akun media sosial dan penggunaan media sosial secara pasif.
“Langkah pencegahan seperti edukasi, pembatasan akun dan kurasi konten, dan kebijakan kesehatan yang lebih baik sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini sebelum berdampak lebih serius,” pungkasnya.
… Selengkapnya