Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog Dicky Budiman menilai strategi Kementerian Kesehatan RI dalam mencegah penularan HIV sudah berada di jalur yang benar. Namun, sayang belum optimal dalam menjangkau perilaku dan realitas remaja masa kini.
Beberapa program pencegahan dan deteksi dini HIV dari Kemenkes diantaranya program promosi kesehatan reproduksi di sekolah, layanan HIV berbasis remaja, perluasan tes HIV. Namun, hal itu belum rata dan menjangkau kelompok rentan.
“Strategi sudah baik di atas kertas tapi implementasi di lapangan terkesan masih birokratis dan tidak cukup inklusif untuk menjangkau remaja secara nyata,” tutur Dicky kepada Health Liputan6.com pada Kamis, 19 Juni 2025.
Lalu, Dicky juga menyayangkan masih minimnya edukator berbasis komunitas dan peer group (kelompok teman sebaya). “Padahal itu efektif pada kelompok remaja.”
Ditambah lagi stigma yang masih melekat terhadap kesehatan seksual dan HIV. Hal ini membuat remaja jadi enggan mengakses informasi yang tepat di sekolah maupun keluarga.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan merilis soal angka 2.700 remaja usia 15-19 tahun hidup dengan HIV di Indonesia.
Edukasi Kesehatan Seksual dan Pencegahan Penularan HIV pada Remaja
… Selengkapnya
Dicky mengatakan bahwa perlu menggunakan pendekatan edukasi yang tepat saat mengedukasi HIV pada remaja.
“Pendekatan literasi yang dilakukan harus inklusif, berbasis realitas yang dikembangkan bersama remaja. Sehingga sesuai kebutuhan mereka,” kata dokter yang pernah terlibat mengelola program pencegahan HIV di level nasional dan internasional (di OKI/Organisasi Kerja Sama Islam) itu.
Berikut saran Dicky tentang cara edukasi kesehatan seksual termasuk tentang edukasi HIV pada remaja:
1. Pakai Bahasa Remaja Bukan Formal
“Remaja enggak akan tertarik dengan istilah penularan per vertikal, tapi lebih tertarik dengan bahasan yang dekat misalnya ‘Kenapa ya teman itu bisa kena HIV tapi enggak kelihatan sakit?’,” contoh Dicky.
2. Pendekatan Sesuaikan Kondisi Wilayah
Tiap wilayah memiliki cara pendekatan yang berbeda-beda meski sama-sama berusia remaja. Remaja di perkotaan seperti di Jakarta memiliki bahasan atau aktivitas yang sedikit berbeda dengan remaja di pedalaman atau luar pulau Jawa.
3. Libatkan Peer Group Educator atau Influencer
Dalam membangun literasi kesehatan termasuk pencegahan HIV lebih efektif bila disampaikan teman sebaya atau sosok yang disukai (role model) yang dekat dengan kehidupan remaja.
“Jadi, edukasi bukan hanya oleh dokter atau guru,” katanya.
4. Berbasis Digital dan Media Sosial
Bagi generasi remaja yang kini aktif menggunakan handphone, aktivita di ruang digital begitu besar. Maka manfaatkan dengan memasukkan konten edukasi kesehatan misalnya berbentuk video pendek, podcast, komik digital.
“Itu lebih mudah diserap dibanding brosur atau seminar formal,” kata Dicky.
5. Jangan Menakut-nakuti
Saat memberikan edukasi kesehatan seksual termasuk pencegahan penularan HIV, Dicky mengingatkan agar tidak memasukkan tone negatif yang menakuti remaja. Lebih baik kuatkan kemampuan remaja dalam mengambil keputusan seperti kemampuan menolak ajakan aktivitas berisiko.
“Ajarkan mereka kemampuan negosiasi, jadi ada self respect dan menolak ajakan aktivitas berisiko seperti minum minuman beralkohol, jarum suntik (untuk penggunaan narkoba),” kata Dicky.
6. Pendekatan Tanpa Stigma
Upaya pencegahan HIV harus melibatkan keluarga dan guru dengan pendekatan tanpa stigma. Banyak remaja takut membicarakan soal seks karena khawatir dimarahi atau dihakimi, baik di rumah maupun di sekolah.
“Karena itu, orangtua dan guru perlu dilatih agar bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi remaja untuk bercerita bukan menjadi hakim bagi mereka,” pesan Dicky.
… Selengkapnya